Temukan dan Rayakan Kesederhanaan

By Labels: at

Masjid terdekat dari rumahku hanya berjarak sekitar 30-40 langkah dari rumah. Dekat sekali. Aku pun sering shalat di sana.
Sebenarnya ia bukan masjid favoritku. Ada masjid-masijid lainnya yang lebih aku sukai karena suasananya lebih cocok denganku. Namun, aku hampir selalu lebih memilih masjid dekat rumah karena, yah, alasan kedekatan. Itu saja. Meskipun, jujur saja, ada beberapa hal yang tak aku sukai dari masjid dekat rumah. Salah satunya adalah masalah ketiadaan timer iqomah.
Kamu tahu kan, sekarang sudah banyak masjid yang memakai timer iqomah, alias papan elektronik yang menampilkan hitung mundur antara waktu adzan dan waktu iqomah.
Timer iqomah merupakan salah satu topik diskusi yang sangat disukai bapakku. Beliau sering bercerita bahwa timer iqomah di tiap masjid berbeda-beda. Ada yang 10 menit, 8 menit, 5 menit, bahkan 15 menit. Tiap waktu shalat pun bisa berbeda-beda waktu hitung mundurnya. Semua itu diceritakan beliau dengan senyum lebar dan bersemangat.
Awalnya aku heran, kok bapak bisa bahagia sekali, ya? Padahal cuma membicarakan timer iqomah. Aku heran sekali, sampai kemudian, aku menemukan alasannya.
Mesjid dekat rumahku tidak memiliki timer iqomah atau pun jam digital. Maklum, masjid kampung. Mungkin karena keterbatasan dana. Dan awalnya itu bukan masalah bagiku.
Namun, ia menjadi masalah ketika aku mulai membiasakan shalat tahiyatul masjid dan/atau shalat rawatib qobliyah.
Aku biasanya datang ke masjid ketika ‘injury time’, alias dekat-dekat waktu iqomah. Nah, ketika sampai di masjid, aku selalu mengalami dilema kecil: apakah waktunya cukup untuk shalat sunnah atau tidak, ya?
Kalau aku shalat sunnah, nanti tahu-tahu iqomah saat aku baru satu rakaat.
Namun kalau tidak shalat, bisa jadi aku menyesal,karena ternyata waktu menuju iqomah masih panjang.
Seperti buah simalakama. Dan aku pun beberapa kali jadi 'korban'. Saat aku baru satu rakat shalat tahiyatul masjid, iqomah sudah dikumandangkan. Aku pun terpaksa mempercepat laju shalatku. Dan, seringkali, itu membuatku sedikit bad mood. Haha.
Namun, baru-baru ini, masjid dekat rumah telah memasang timer iqomah. Tadi siang, aku menuju masjid untuk shalat dzuhur dan aku mendapati timer iqomah menunjukkan waktu 17 detik. Itu berarti sudah pasti tidak akan sempat melaksanakan shalat Sunnah. Aku pun hanya berdiri di shaf menanti iqomah.
Sejak saat itu, dilema kecilku hilang. Tidak perlu menerka-nerka apakah waktu cukup untuk shalat sunnah atau tidak. Toleransiku adalah 3 menit. Kalau timer iqomah masih menunjukkan 3 menit, berarti cukup. Namun kalau sudah di bawah 2 menit, bisa dipastikan tidak cukup. Aku lebih cepat membuat keputusan. Tidak ada dilema kecil lagi.
Ini memang perkara remeh. Namun tak kupungkiri, aku merasakan kebahagiaan dari perubahan kecil itu. Dan aku pun jadi lebih mengerti kebahagiaan bapak ketika beliau bercerita tentang timer iqomah.
***
Kawan, aku rasa kisah kecilku ini adalah salah satu bukti keindahan islam.
Semakin dalam kamu menyelaminya, semakin mudah kamu temukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana.
Kamu tahu kenapa banyak orang sedih, depresi, emosi, dan gundah gulana? Itu karena mereka mematok kebahagiaan pada level yang terlalu tinggi, seperti kekayaan, pasangan yang mapan dan rupawan, popularitas, jabatan, dan kekuasaan.
Aku ambil contoh diriku sendiri. Dulu aku mematok kebahagiaanku dari jumlah “like” yang aku dapat di fanpage facebook yang aku kelola. Semakin banyak “like”, semakin bahagia diriku. Teorinya seperti itu.
Namun, kenyataannya tidak. Aku justru selalu sedih melihat “like” yang ku dapat. Soalnya, banyak fanpage lain yang jumlah “like”-nya jauh lebih banyak. Dari ribuan, puluhan ribu, hingga ratusan ribu. Jumlah "like"-ku yang 'hanya' ratusan sama sekali tidak ada apa-apanya.
Pada akhirnya, patokan kebahagiaanku itu justru tidak kunjung membuatku bahagia. Ia tidak pernah mencapai ujungnya, seperti paradoks. Dan aku lelah dibuatnya.
Namun ketika aku mendalami islam, aku temukan hal-hal kecil seperti timer iqomah membuatku bahagia.
Wow. Siapa sangka, kawan?
Dan hal-hal seperti itu mungkin jumlahnya ada banyak sekali, bahkan tak terbatas. Pun mudah ditemui dalam keseharian. Yang perlu kita lakukan adalah merasakannya dengan hati dan menemukannya.
Mungkin ini bisa jadi nasehat buatku dan buatmu. Temukanlah kesederhanaan dalam hidup dan rayakanlah ia. Rengkuh kebahagiaan dari situ. Niscaya ketenangan hati akan menghampiri kita.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Kalau ada yang melenceng atau meragukan, mohon dikoreksi atau didiskusikan di kolom komentar.
Posting Komentar

Back to Top