Ini terjadi pukul 5 sore tadi, tetapi masih membuatku agak terguncang sampai sekarang.
Aku sedang menemani ibuku dan sahabatnya ke sebuah mall di kawasan
Tebet, Jakarta Selatan. Ketika itu, kami sedang agak terburu-buru.
Pasalnya, sahabat ibuku hendak mengejar pesawat terbang di bandara
Halim. Aku diminta mengantarnya ke sana.
Kami telah selesai
belanja dan bergegas menuju parkir basement di lantai B1, tempat mobil
kami diparkir. Kami bermaksud menggunakan lift. Posisi kami saat itu ada
di lantai G, sedang menunggu pintu lift membuka.
Satu menit berselang, pintu lift pun terbuka. Para pengunjung mall, termasuk kami bertiga, masuk berdesakan.
Aku masuk paling akhir, sebelum tiba-tiba terdengar ada bunyi “tiiit”
nyaring agak panjang. Itu isyarat lift kelebihan beban. Aku pun secara
naluriah mundur keluar dari lift. Pintu lift menutup, lalu lift bergerak
ke bawah. Biarlah ibuku dan sahabatnya duluan ke basement. Aku
belakangan saja.
Setelah menunggu satu menit, pintu lift kembali
terbuka. Aku masuk ke sana, berdesakan dengan pengunjung mall yang
hendak ke lantai bawah.
Ruang lift tidak begitu besar. Aku
taksir, ia hanya berukuran 1,8 x 1,8 meter. Aku berdiri di pojok kiri
belakang, bersama dengan sekitar 12 orang lainnya. Ada orang dewasa dan
anak-anak. Ya, lift itu penuh sesak. Papan elektronik di atas pintu
lift juga menegaskan hal itu. Soalnya, teks bergerak di sana menunjukkan
kata ”full”, alias lift bermuatan penuh.
Aku merasakan lantai
lift menekan sol sandalku ke atas. Ternyata lift ini naik ke atas
terlebih dahulu, tepatnya ke lantai satu.
Seampainya di lantai satu, pintu lift tidak langsung terbuka.
Beberapa detik berlalu, pintu lift tidak kunjung terbuka, pun lift tetap diam saja, tidak bergerak naik atau pun turun.
Detik-detik terus bergulir dan pintu lift masih bergeming.
Wah, ini sih ada yang tidak beres. Aku mendengar penghuni lift lainnya juga mulai menggerutu pelan.
Hampir satu menit berlalu, kondisi tetap sama. "Ini saatnya menekan tombol darurat", batinku.
Seakan membaca pikiranku, seorang perempuan berjilbab yang berdiri di
pojok kanan depan langsung menekan tombol bergambar lonceng di tembok
lift. Interphone di atas tombol mengeluarkan suara laki-laki yang agak
kresek-kresek.
“Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya.
“Ya
pak! Ini liftnya macet di lantai satu terus!”, jawab si perempuan
berjilbab, dengan nada agak membentak. Aku merasakan getaran kepanikan
dalam suaranya. Wajahnya tegang. Sebelas dua belas dengan wajahku saat
itu.
Suara dari interphone balas menjawab, “itu lift yang di
sebelah mana ya bu???”, dengan nada yang tidak kalah panik. Waduh, masa’
si petugas tidak tahu ini lift yang mana? Apa tidak terdeteksi dari
ruang kontrolnya?
Penghuni lift mulai gelisah. Aku berusaha
menenangkan diri. Namun otakku yang hiperaktif ternyata lebih memilih
untuk mengingat kasus pembunuhan di Pulo Mas beberapa waktu silam. Masih
ingat, kan? Dalam kasus itu, sekeluarga tewas karena disekap di kamar
mandi tanpa ventilasi. Mereka kehabisan nafas.
Pemilihan waktu otakku tidak bisa lebih buruk dari ini.
Sekarang, kami bertiga belas berada di ruang lift berukuran 1,8 x 1,8
meter dengan langit-langit rendah. Pintu lift tidak kunjung terbuka.
Suhu ruangan memanas. Pun persediaan oksigen terasa menipis.
Tiba-tiba muncul pertanyaan di benakku,”bagaim ana kalau Allah berkehendak untuk mengunci pintu lift untuk seterusnya?”
Mendadak, suasana jadi horror bagiku. Aku jadi melupakan semuanya.
Mulai dari apa yang akan aku lakukan sore ini, nanti malam, besok,
bahkan mimpi jangka panjang yang ingin aku capai. Kalau pintu lift
terkunci terus, boleh jadi ini saatnya bagiku. Tidak akan ada hari esok.
Isi kepalaku pun seketika hanya dipenuhi istighfar dan doa supaya pintu
lift lekas terbuka.
---
Hening. Diselingi gerutu pelan dari penghuni lift.
2 menit, yang terasa seperti setahun, telah berlalu. Suara kresek-kresek dari interphone tiba-tiba memecah keheningan.
“Ada anak-anak di sana!!?” tanya si suara laki-laki.
“Ada!!” jawab penghuni lift serentak.
Hening kembali. Diselingi gerutu pelan. Tiga menit berlalu. Aku
benar-benar takut sekarang. Menurut seorang psikolog dari barat, ada
lima tahap yang dilalui seseorang saat menghadapi kematian. Tahap
pertama adalah “denial” alias penolakan. Pikiranku mulai masuk ke tahap
tersebut. Aku tidak siap mati, kawan. Tidak sekarang.
Tiga
setengah menit berlalu. Aku merasa udara semakin menipis dengan cepat.
Bersamaan dengan itu, seorang penghuni lift berteriak ke arah
interphone, “OKSIGEN NIH!!”
Hei, bung. Semua orang juga tahu
oksigen sedang menipis. Namun bisakah tidak usah diteriakkan seperti
itu? Itu sama sekali tidak membantu. Malah bikin tambah panik. Menyita
banyak oksigen pula. Begitu gerutuku dalam hati.
Aku mencoba
bernafas seirit mungkin, sembari tetap istighfar dan berdoa supaya pintu
lift terbuka atau lift bergerak. Yang mana pun lah. Itu lebih baik
daripada kegemingan yang menyakitkan ini.
lima menit berlalu. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih.
Dan tiba-tiba… aku merasa badanku sedikit anjlok ke bawah.
Kawan, LIFTNYA BERGERAK TURUN!
Spontan aku berteriak “ALHAMDULILLAH! !” sekeras-kerasny a.
Seumur hidup, belum pernah aku merasa sebahagia itu hanya karena lift
bergerak turun. Penghuni lift lainnya pun mengekspresikan kelegaannya.
Lift akhirnya sampai di lantai B1, pintunya terbuka. Udara segar masuk.
Aku menghirupnya dalam-dalam seakan belum pernah melakukannya 10 tahun
terakhir. Aku bergegas keluar, lalu bergabung dengan ibuku dan
sahabatnya yang telah menunggu.
Aku baru saja lolos dari petaka. Aku merasa lega, tetapi juga terguncang. Guncangan itu baru reda sekitar 3 jam kemudian.
***
Ini pengalaman ‘hampir mati’ kedua yang aku alami setelah hampir hanyut
di sungai ketika kecil dulu. Meski menakutkan, ini adalah pelajaran
berharga. Alam bawah sadarku lagi-lagi ditendang. Betapa aku masih
banyak dosa dan belum siap menghadapi kematian. Itu terasa dari rasa
takutku tadi.
Dan ini sekiranya juga jadi peringatan, bahwa kelak
aku dan kamu pasti akan merasakan ‘hampir mati,’ yang benar-benar
berujung pada mati. Selalu ingat mati, kawan, karena waktunya bisa saja
hari ini. Pastikan bekalnya sudah siap, yaitu ketauhidan dan amal-amal
kebaikan. Jangan sampai menyesal pada waktunya.
Nasihat ini adalah buatku dan buatmu.