Aku tipe orang yang biasa berpikir dengan logika. Cara berpikir seperti itu diiringi oleh kelebihan maupun kekurangan.Berl ogika memang sangat berguna untuk memecahkan masalah-masalah
yang eksak, seperti matematika. Berlogika juga berguna saat aku butuh
ide-ide untuk tulisan di fanpage yang satu lagi, di mana berlogika dan
menganalisis adalah hal-hal yang paling esensial.
Namun, saat
sedang berlogika, apalagi dengan kekuatan penuh, biasanya ada hal lain
yang terabaikan. Contohnya, berpikir dengan hati. Padahal, seiring usia,
aku mendapati bahwa hal-hal terbaik dalam hidup ini sering kali tidak
bisa dimengerti dengan logika, tetapi dengan pemahaman hati. Dan salah
satu hal tersebut adalah bulan Ramadhan.
Sudah puluhan tahun aku
merasakan Ramadhan. Ketika lebih muda, aku selalu bersemangat menyambut
kedatangannya. Bukan karena ia bulan suci dan penuh berkah, melainkan
makanan yang buatku semangat. Ya, Ramadhan identik dengan berbuka puasa
dan sahur. Dan biasanya, meja makan rumah kami bakal terisi oleh puluhan
varian makanan untuk dua aktivitas tersebut, yang rasanya enak-enak,
yang tak akan segan-segan kusantap dengan lahap. Maka itu, bulan
Ramadhan identik dengan bulan makanan bagiku. Maka, tak heran, massa
badanku malah naik di bulan ini. Lucu juga, ya.
Namun,
Ramadhan terbaik yang ku rasakan-- tepatnya ramadhan tahun 2016—justru
sama sekali tidak dipicu oleh makanan. Saat itu, aku tergerak untuk
mencoba memperlakukan Ramadhan sesuai premis awalnya, yaitu bulan penuh
ibadah dan berkah. Bulan di mana segala pahala dari tiap amalan
dilipatgandakan dengan tingkat pengembalian yang tinggi.
Aku coba perkhusyuk shalat, perbanyak mengaji, mendengar kajian
ustadz-ustadz ternama dari youtube, bahkan menambah hapalan surat Juz
Amma --sesuatu yang tidak pernah kulakukan lebih dari 15 tahun terakhir.
Dan ternyata, rasanya luar biasa.
Aku merasa, aliran
waktu tiba-tiba melambat hanya untukku. Hanya untukku. Aku tidak merasa
kesepian, padahal tidak banyak orang di sekitarku. Aku selalu merasa
sejuk, padahal angin tidak bertiup. Pun aku selalu merasa spesial,
padahal tidak ada insan yang menyanjungku. Semua gelenyar kenikmatan itu
kurasakan begitu saja, tanpa bisa logikaku menjelaskannya.
Sensasi tersebut memuncak ketika memasuki 10 malam terakhir. Telah
kudengar dari berbagai ulama, 10 malam terakhir identik dengan I’tikaf,
atau berdiam diri di masjid. Tidak beraktivitas apa pun kecuali ibadah.
Selama ini, aku menganggap I’tikaf sebagai akivitas islami level
‘tinggi’, alias hanya diperuntukkan bagi para sufi bersurban tebal dan
berjenggot abu-abu yang panjangnya menjuntai sampai ke dada.
Namun, aku penasaran, apakah I’tikaf memang sesuai anggapanku yang
sempit itu? Maka, aku pun memutuskan untuk mencobanya bersama dengan
keluargaku di masjid dekat rumah.
Jawaban yang aku dapat melebih
ekspektasiku. Jika Ramadhan hari biasa, waktu terasa melambat. Maka
saat I’tikaf, waktu terasa berhenti. Dalam arti sebenarnya. Tidak ada
kecemasan masa depan atau kesedihan masa lalu. Yang ada adalah momen
saat itu. Dan itu mencukupiku lebih dari apapun.
Aku harus
jujur padamu, kawan. Selama belasan tahun, aku menyimpan dendam terhadap
seseorang yang sangat dekat denganku. Dendam ini mendekam kuat di
hatiku seperti parasit. Dan, seringkali, ia meledak di berbagai momen.
Hal itu kerap membuatku gelisah, emosi, sulit berpikir jernih, dan sulit
berkonsentrasi.
Namun, secara ajaib, dendam itu reda seiring gerakan shalat malamku di
kala I’tikaf. Belasan tahun dendamku diredakan dalam waktu 10 malam.
Bahkan, selepas Ramadhan, dendam itu tidak pernah kembali. Aku pun lebih
ringan menjalani hidup.
Lagi-lagi, logikaku tidak bisa menjelaskannya.
Namun, dari sini, aku mengerti satu hal : Baik I’tikaf maupun Ramadhan
tidak diciptakan untuk orang-orang berlevel sufi belaka. Ia tercipta
eksklusif hanya untukku. Kenikmatannya, kesejukkannya, dan keajaibannya,
semua hanya untukku.
Apakah Ramadhan untukmu juga? Aku rasa itu
hanya bisa dibuktikan bila kamu membuka hati dan memperlakukan Ramadhan
sesuai dengan premis awalnya. Beberapa bulan lagi kita menyambutnya.
Semoga masih diberi kesempatan untuk membuktikannya.