Guru “Killer” adalah julukan yang biasa disematkan kepada guru,
dosen, pengajar, widyaswara, atau profesi transfer ilmu lainnya yang
punya tabiat sebagai berikut : galak, dingin, perfeksionis, banyak
aturan, pemarah, cerewet, dan sering memberikan tugas
Menurut
pengamatanku, guru “Killer” biasanya kurang disukai murid. Pasalnya,
mereka kerap membuat suasana kelas kurang rileks. Jadi tegang. Apalagi
kalau si guru sudah mulai marah-marah. Duh, tak enak.
Namun demikian, guru “Killer” juga biasanya paling tenar, paling dihormati, paling disegani, dan paling sering diperbincangkan . Itu menurut pengamatanku
***
Aku pribadi punya pendapat tentang guru “Killer”.
Guru “Killer” itu nikmat dan anugerah. Ya, alih-alih tabiat mereka yang
terkesan berkonotasi negatif, guru “Killer” seringkali lebih sukses
melakukan transfer ilmu ketimbang guru-guru non-“killer”. Ini setidaknya
telah aku rasakan.
Ketika masih SD, aku disekolahkan di Taman
Pendidikan Al-Quran di sebuah Mesjid dekat komplek rumahku. Ketika itu,
aku sudah lulus Iqro’dan mulai mengaji langsung dari Al-Quran. Guru
ngajiku adalah seseorang berusia 40-an tahun, kulit agak hitam,
berjenggot tipis, dan berwajah tirus. Aku lupa namanya. Namun, yang tak
pernah ku lupa, dia adalah salah satu guru paling “killer” yang pernah
aku kenal.
Beliau memiliki cara mengajar yang cukup khas, yang aku namai “tajwid perfection”.
Jadi, setiap kali beliau meminta muridnya untuk membaca suatu ayat
Al-Quran, tajwidnya sama sekali TIDAK BOLEH keliru. Sama sekali.
Kalau keliru, beliau akan memarahi si murid, lalu si murid harus membaca ulang lagi ayatnya dari awal.
Keliru lagi, ulang dari awal lagi. Keliru lagi, ulang dari awal lagi.
Begitu terus sampai bacaan satu ayat benar-benar sempurna tajwidnya.
Nyaris tidak ada toleransi. Bahkan kurang panjang satu harakat saja
dianggap kekeliruan fatal yang pantas dikenakan sanksi pidana. Iya,
sampai sebegitunya.
Kalau yang dibaca surat-surat Juz Amma sih
tidak masalah. Namun kalau yang dibaca surat Al-Baqarah, yang panjang
satu ayatnya bisa setengah halaman, wah, satu ayat bisa nggak
kelar-kelar tuh.
Aku sempat stress berat saat pertama kali diajar
beliau. Namun, seiring waktu, aku merasa penguasaan tajwidku membaik
secara drastis. Tajwidku membaik sampai, suatu saat, aku bisa dengan
mudah membaca satu ayat tanpa tajwidnya keliru sedikit pun. Dari
situlah aku sadar, semuanya bisa terjadi berkat cara ajar si guru ngaji
“killer”.
Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Semoga Allah memberkahinya dimana pun berada.
***
Anugerah guru “Killer” juga kurasakan ketika tahun pertama kuliah.
Kali ini, si guru ahli di bidang Bahasa Indonesia. Beliau sudah sepuh.
Sifatnya juga agak paranoid, alias kurang percaya orang. Selagi
mengajar, intonasi beliau kerap tinggi, marah-marah, seakan-akan para
murid yang diajarnya baru melakukan tindak kriminal dan pantas dijatuhi
hukuman 10 tahun penjara.
Namun, beliau juga banyak mengajar
ilmu-ilmu paling dasar dari Bahasa Indonesia, seperti pemakaian Subjek,
Predikat, Objek, dan Keterangan; anjuran menggunakan kata “namun” di
awal kalimat, bukan “tetapi”; dan larangan memakai lebih dari satu kata
penghubung dalam satu kalimat untuk efisiensi .
Mungkin ilmu-ilmu
tersebut terkesan remeh. Namun, setelah kupraktekkan sendiri untuk
menulis, ternyata tulisanku jadi memiliki nilai lebih. Aku mendapat
beberapa komentar bahwa tulisanku mudah dibaca dan mengena. Dari
situlah, lagi-lagi aku sadar, itu bisa terjadi berkat si guru “killer”.
Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Semoga Allah memberkahinya dimana pun berada.
***
Kesimpulanku, guru “killer itu anugerah selama kita bisa mengambil sesuatu dibalik cara mengajarnya yang ‘mematikan’.
Di balik tabiatnya, ada ketulusan, yang bila kita rasa, akan
mempermudah terjadinya transfer ilmu. Ilmu yang kelak bisa bermanfaat
untuk orang lain.
Bagaimana denganmu? Apa kamu juga punya pengalaman berkesan dengn guru “killer”? Silahkan share di komen