Butuh waktu hampir seumur hidupku untuk menyadari satu hal : bahwa
tidak ada yang lebih layak menjadi idola nomor wahidku selain baginda
Rasulullah Saw.
Aku sedikit menyesalinya. Pasalnya, ketika belum mengenal beliau, aku kerap merasa kekurangan.
Aku melihat sekelilingku dan meratap pilu.
Mengapa orang lain selalu memiliki apa yang tidak kumiliki?
Mengapa orang lain selalu memiliki apa yang tidak kumiliki?
Mengapa orang lain selalu selangkah lebih maju dari diriku?
Mengapa orang lain terlihat lebih independen dariku?
Melihat mereka, tak ayal, rasa iri dan kedengkian merundung diriku. Aku
merasa tertinggal dan langkahku berat. Aku tak pernah merasa tenang.
Aku membenci diriku dan sering berandai bisa dilahirkan sebagai manusia
yang berbeda. Manusia yang lebih mapan, lebih tampan, lebih pintar,
lebih disukai, dan kelebihan lain yang bisa membuatku terlihat lebih
mulia. Walau aku sadar, semua itu hanyalah angan kosong, yang hanya
membuatku semakin bersedih.
Namun kemudian, aku mulai meniti
rekam jejak sang baginda. Ku baca untaian kata-kata dari para cendekia
yang menuturkan kisahnya.
Seketika, aku tertegun. Aku menunduk. Merasa berdosa.
Di dunia ini, mungkin tidak ada satu orang pun yang pernah kehilangan sebanyak baginda Rasulullah SAW.
Beliau telah kehilangan SEMUANYA.
Coba kamu sebutkan. Tenaga, waktu, ketenaran di mata kaum Quraisy,
harta, rasa aman, dan nyaris pula jiwanya. Berkali-kali. Semua telah
dikorbankannya demi memperjuangkan satu hal : tauhid.
Tauhid
bukanlah kekayaan, kerupawanan, ketenaran, kepintaran, atau apa pun yang
bisa membuat seseorang manusia tampak mulia di mata manusia lainnya. Ia
hanyalah suatu keyakinan yang tidak kasat mata, tetapi melekat kuat di
relung hati Baginda. Namun, hanya dengan itu, sang baginda rela
mengorbankan segalanya.
Kota Tha’if menjadi saksi bisu
pengorbanan baginda. Saat itu, beliau hanya berdua dengan salah satu
sahabatnya, Zaid bin Haritsah. Beliau lalu menuturkan ide ketauhidan
kepada penduduk Tha’if, yang ternyata dibalas dengan cemooh kasar dan
lemparan-lemparan batu.
Baginda pun melarikan diri dari Tha’if
dengan keadaan minimum. Beliau sangat lelah, berduka, dan sekujur tubuh
penuh luka. Aku geram. Itukah yang didapatnya setelah sekian lama
memperjuangkan tauhid? Sangat tidak adil, batinku.
Nampaknya,
malaikat Jibril pun beropini demikian. Pasalnya, setelah itu sang
malaikat turun mendatangi baginda. Dia memberi kabar dari Allah SWT.
Kabar yang berisi izin kepada baginda untik menimpakan dua gunung
terbesar di Mekkah kepada penduduk tha’if yang telah menorehkan luka di
hati dan tubuhnya. Supaya mereka mati dan tahu rasa. Aku pun mengangguk
setuju.
Namun, apa jawaban beliau?
“Jangan. Siapa tahu
Allah akan mengeluarkan seseorang yang berucap kalimat ‘tiada tuhan
selain Allah’dari rahim mereka.” (The Great Story of Muhammad, hal 178)
Aku merinding. Beliau telah kehilangan banyak hal, tetapi ia tidak kehilangan nuraninya..
Jadi, bagaimana mungkin aku masih merasa kekurangan? Sementara pernah
ada seseorang yang telah kehilangan segalanya. Namun ia tak pernah
merasa kekurangan. Tauhid selalu mencukupinya dan prasangka baik selalu
menenangkannya. Dan ia adalah manusia termulia yang pernah ada.
Tak ayal, baginda Rasulullah SAW langsung menjadi idolaku. Dan selayaknya jadi idola siapapun. Demi ketenangan hatimu.