Aku adalah seorang muslim warisan. Artinya, aku terlahir dalam
keluarga muslim. Ya, Islam dengan segala petuah dan aktivitasnya memang
telah melekat padaku sejak dini. Namun, Islam baru benar-benar melekat
di hatiku sejak dua tahun terakhir. Dengan demikian, mungkin aku bisa
dibilang mu’alaf? Intinya, masih banyak yang perlu aku pelajari tentang
agama ini.
Adapun isi dari blog ini adalah segala curhatanku
tentang islam berdasarkan pemikiran, pengalaman, dan pengamatanku
sendiri. Aku berharap curhatanku ini tidak hanya menjadi ajang curhat
belaka, tetapi juga bisa jadi media pencerahan dan ajang diskusi bagi
siapapun yang membacanya.
Sekilas perkenalan tentang diriku, sekarang saatnya masuk ke entry pertama blog ini.
* * *
Bicara tentang dipan.
Dipan menjadi salah satu kata yang sering dipakai dalam Al-Quran untuk
mendeskripsikan surga, selain “sungai-sungai yang mengalir di bawahnya”.
Namun ada satu hal yang mengganjal tentangnya. Sepemahamanku,
dipan adalah bangku panjang dari kayu atau bambu yang dipakai untuk
duduk dan berbaring.
Pertanyaanku adalah : kenapa harus dipan?
Bukankah surga adalah tempat terbaik, terindah, ternyaman yang akan ditempati manusia kelak?
Analoginya, ia bahkan lebih mewah dan nyaman dari pada hotel bintang lima. Namun, fasilitas yang didapat ‘hanya’ dipan?
Kok, terkesan di bawah standar, ya?
Beda cerita kalau kata “dipan” diganti dengan “sofa” atau “Kasur” yang menurut saya jauh lebih nyaman. Kenapa harus dipan?
Mungkin pertanyaan ini terkesan bodoh. Apalagi surga adalah tempat yang
konon tidak bisa diparalelkan dengan tempat mana pun di dunia ini.
Namun, kata "dipan" itu tak ayal cukup mengganjal pikiranku. Sampai
akhirnya, aku mendapat jawaban yang cukup memuaskan beberapa waktu lalu.
* * *
Waktu itu, aku sedang mengantar ibuku yang sakit berobat. Registrasi,
antri, dipanggil suster, lalu kami masuk ke ruang poli umum. Dokter
sudah menunggu di balik mejanya. Sang dokter bernama Fauzi. Beliau
berumur sekitar 50 tahunan. Wajahnya berjenggot hitam tipis, mirip orang
Arab. Tangannya subur oleh bulu lebat.
Dokter Fauzi cukup
berkesan buatku. Selama ibuku berkonsultasi dengannya, aku mendapati
dokter Fauzi tidak hanya berilmu di bidang kedokteran, tetapi juga luas
pengetahuan islamnya. Humoris dan sabar pula. Mendengarkan nasihatnya
yang penuh kerendahan hati terasa adem. Dua kali lebih adem daripada
dokter-dokter lain yang pernah kujumpai.
Ibuku --yang belakangan
sedang candu membaca kisah Rasulullah SAW—pun dibuat terkesima dengan
penjelasan Dokter Fauzi. Ibuku, yang semula hanya berniat konsultasi
tentang darah tingginya, perlahan mulai bertanya banyak hal kepada
Dokter Fauzi dengan nada bersemangat.
Pembicaraan akhirnya masuk
ke topik cara tidur Rasulullah SAW. Dokter Fauzi menjelaskan bahwa
Rasulullah tidur dengan menghadap ke kanan. Telapak tangan menjadi
sandaran kepala. Zaman dulu, belum ada kasur. Jadi Rasulullah dan
orang-oraang sezamannya selalu tidur di alas yang keras.
“Nggak enak dong, ya,” celetuk ibuku.
Dokter Fauzi menggeleng pelan. Menurutnya, tidur di permukaan yang
keras justru lebih baik. Ia membantu menopang tulang belakang manusia
agar tetap kokoh. Dokter Fauzi sendiri juga lebih suka tidur di karpet
ketimbang kasur.
Sementara itu, tidur di kasur justru kurang
baik. Kasur memang empuk, tetapi tulang belakang kita jadi tidak
tersangga dengan kuat. Dan itulah salah satu penyebab melemahnya tulang
belakang dan postur bungkuk.
Aku tertegun. Penjelasannya masuk
akal. Terlebih lagi, aku teringat pada “dipan” di surga yang belakangan
mengganjal benakku. Bukankah dipan juga beralas keras?
Aku pun
--yang dari tadi diam-- bertanya pada dokter, “jadi, karena itu dipan
ada di surga? Dipan kan keras, tetapi ternyata baik buat manusia?”
Dokter fauzi mengangguk pelan. Aku hanya diam tertegun, seakan dapat pencerahan.
Setelah itu, ibuku lanjut konsultasi lagi. Tak lama, dokter fauzi memberikan resep obat, lalu kami pamit pergi.
* * *
Konsultasi dengan dokter Fauzi berjalan sekitar 15 menit. Singkat
tetapi padat. Aku pun termenung, apa mulai sekarang aku harus tidur
diatas dipan tanpa kasur?